 |
Upacara Saur Matua Adat Batak |
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=152848951466083
Upacara kematian pada
masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain
dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat
Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar
belakang kepercayaan tentang kehidupan .
Saur matua
adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak
laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam
kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah
sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna.
Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut
membuat acara adatsempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal
seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya
belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu
upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui
oleh setiap yang melaksanakannya.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:
1. Sebelum Upacara di Mulai
Dalam
kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu
berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka
waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah
di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal
pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga
sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan
batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat
terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang
diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab
lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan
penyakit.
Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua
yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada
keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus
baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum
diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya beserta sanak
famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan
berbagai persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat
panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta
biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai
dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan
sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak
babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan
disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut
diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang
yang dituakan di kampung tersebut).
Kemudian acara
panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring
nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua
tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut
menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat
penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya
dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang,
murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan
agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung
selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai
kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua
keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada
juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi
berlaku.
Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya
keturunan dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan
agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan
dengan makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru
(suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada
hadirin. Setelah selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku
daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak
perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor)
untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha
(teman semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang
hadir). Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang
pertama oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak
boru, dongan sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.
Setelah
selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa
penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari
berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa
dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos
mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula
menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka
memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di
atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan
makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur
panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan
sejahtera di hari-hari mendatang.
Setelah pemberian ikan
dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap
dengan suku-sukunya kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan
oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal
dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai
pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah
mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan
diselimuti dengan kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang
tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang
bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal
maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana
upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua
itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap
hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk
kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk
musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak
famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat,
parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah
acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak
hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang
(Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari ternan
semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada
di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan
mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang
lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan.
Mereka
yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut
Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat
untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua
anak laki-lakinya, cucu lakilaki dari yang pertama (sulung) dan cucu
laki-laki dari anaknya perempuan.Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang
diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala.
Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran
tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang
honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam
upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat
kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan
tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan.
2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua
Setelah
keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian gaur
matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini
terbagi atas dua bagian yaitu :
- Upacara di jabu
(di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju
maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman ).
- Upacara
maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang
dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan
jenazah ke liang kubur.
Upacara di jabu (di dalam rumah)
Pada
saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal
dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar
orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti
dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di
sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti
oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang
paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di
sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang
duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua
unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan
ulos.
Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari
(sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing
unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan
kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh
unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan
orangtua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang
bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan
pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan
lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi
disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah
kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para
pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke)
Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan
disertai dengan napuran tiar (sirih).
Setelah acara makan
bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas
rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing.
Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan
margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan
pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan
pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan
gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau
gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan danmengundang
masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari
bersama-sama.
Gondang ini juga dijadikan sebagai
pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur
matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga
bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi
kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi
masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah
kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula
berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang
meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama
dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.
a. Kemudian
kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria).
Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus
gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula.
Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di
dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.
b.
Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada
menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua
menari.
c. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari
mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan
yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan
meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.
d.
Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan
pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta
berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing
pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas
kepala suhut.
e. Gondang yang terakhir, hasututon
meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup
sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan
rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.
Kemudian
masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada
pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang
memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah
dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang
itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi
semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.
Jika
upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada
malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur Dalihan Na
Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya
oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah
dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu
hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat
tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu
dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang
memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.
Kemudian
dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti
dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat
sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung,
ulus sampe, ulus panggabei.
Yang pertama sekali
memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos
sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak
tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos
bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah
menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang
terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati,
sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalamdalamnya dari pihak
hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas
kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu
pemberian ulos sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal
berdiri di sebelah kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti
mayat.
Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang
dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau
ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan
(diherbangkan) diatas badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari
memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan
yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari
pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab
antara tulang dengan bere (kemenakannya).
Setelah
hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka
sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai
pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini
dapat diberikan sejumlah uang.
Kemudian aktivitas
selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah
kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru
dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka
sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua
rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan
bersama. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orangtua
yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya
dilakukan rada sore hari.
Adat ini menunjukkan aktivitas
memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orangtua yang saur
matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan
selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari.
Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha,
boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai (
pagi hari ).
Upacara di jabu menuju maralaman
Keesokan
harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap
lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju
maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini
dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00
Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak
perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama
pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri
di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja
mengenakan pakaian resmi (jubah).
Setelah acara gereja
selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti
mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang
dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku)
dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru
dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat
tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu
diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan
palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal.
Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu
sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam
rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara
selanjutnya.
Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara
maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur
matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua
meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke
kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan
dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur
dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di
dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling
besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen
(menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat
di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta
dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian
hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.
Semuanya
mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini
mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah.
Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak
jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah
berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini,
posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar
rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar
sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya
masing-masing.
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan
pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali
upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan
firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari
pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup.
Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang.
Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu
Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang
dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa
berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan
memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa
mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara
berturut-turut tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu
Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada
pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar
semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan
sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi
borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali,
yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada
gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama
gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja
memberkati semua boru dan suhut.
Kemudian pengurus gereja
meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus
gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari
pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu
persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau
saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya
memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka
pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta
kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na
Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3
kali.
Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak
hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut
berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh
pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak
yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang
Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru
dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos
di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.
Setelah
hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan
sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si
pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi
borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran
pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan
beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan
orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos
yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.
Biasanya
setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan
hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak
ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan
gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari.
Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang
Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Pada
saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan
pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan
dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan.
Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus
berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada
pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu
semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di
mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan,
bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa
penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat
penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti
mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta,
sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke
tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada
pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang
turut mengantar ke rumah duka.
3. Acara Sesudah Upacara Kematian.
Sesampainya
pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah
duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda
yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang
khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang
hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat.
Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada
masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian
jambar ini adalah sebagai berikut:
- Kepala untuk tulang
- Telur untuk pangoli
- Somba-somba untuk bona tulang
- satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
- Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
- Leher dan sekerat daging untuk boru
Setelah
pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula
yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan
diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan
sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan
masing-masing dan keadaan.
Bilamana seorang ibu yang
meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung),
yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya
dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang
meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang
meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana
seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas
dan uang.
Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula
sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta
sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung,
maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai
upacara kematian saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli
(memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur
matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan
keperluan acara adalah pihak boru.
Acara mangapuli
dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu
dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah
pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari
pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat,
yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal
tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan
kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut
dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang
sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia
yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada
hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.
Sebagai
salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara ini tidak
terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan
peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah
yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya
dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang
dari adat yang sudah ada.